Rabu, 27 Juli 2016

Batik - Keindahan di Kantong Buruh Migran (liputan harian KOMPAS)

Menjadi pembatik di wilayah eks
Karesidenan Banyumas adalah
jalan terakhir. Banyak perempuan muda memilih merantau ketimbang menjadi pembatik. Setelah letih dimakan usia dan menua, barulah mereka kembali melirik batik. Batik tak memberi harapan. Lantaran itulah, mereka memilih menjadi buruh migran.

Sesungguhnya batik secara turun-temurun menjadi bagian dari irama
napas keseharian di pedesaan banyumasan. Ruminah (44) pernah
merantau ke Pulau Pinang, Malaysia,
sebelum kembali menekuni profesi lama sebagai pembatik di Desa Papringan, Banyumas.

Kala itu, krisis ekonomi sedang berkecamuk dan berimbas pada kehidupan rumah tangganya. Meski takut, ia memilih meninggalkan batik, lalu bekerja sebagai pekerja rumah tangga selama dua tahun di negeri tetangga.

Ketika ditemui di Galeri Kelompok
Usaha Bersama (KUB) Pringmas di Desa Papringan, Banyumas, yang dikelola sesama warga desa dengan bantuan modal awal dari Bank Indonesia, Ruminah sibuk menjemur lembaran batik yang baru saja diwarnai. Ia menjemur batik bersama Soimah (39) dan Naryuti (35) yang kini juga membatik. Sebelumnya, mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia, Singapura, dan Hongkong.

”Saya belajar membatik dari SD. Sudah tamat SD, jadi pembantu ke Bandung. Selanjutnya, saya menikah, lalu punya anak. Setelah anak masuk taman kanak-kanak, baru pergi ke Malaysia,” kata Ruminah.

Soimah juga memilih menjadi pekerja rumah tangga di Malaysia selama dua tahun karena terbelit kesulitan ekonomi. Ia sudah belajar membatik sejak usia 10 tahun, tetapi membatik tak sanggup memenuhi aneka kebutuhan keluarga, terutama biaya sekolah anak. ”Habis kontrak, kangen sama keluarga. Sejak itu, tinggal di rumah. Suami juga enggak
mengizinkan pergi jadi TKI lagi. Di sana rumah mewah, tetapi bukan rumah sendiri,” katanya.

Jika Ruminah dan Soimah sudah
belajar membatik turun-temurun dari
kecil, Naryuti mulai membatik setelah pulang dari perantauan lima tahun ke Singapura dan dua tahun di Hongkong. Ia merantau ke Singapura sejak sebelum menikah, lalu kembali bekerja sebagai buruh migran di Hongkong setelah anaknya berusia 2 tahun. ”Anak enggak ada yang urus. Pulang dari Hongkong langsung belajar membatik. Enggak ada kerjaan lain. Lumayan buat jajan anak,” katanya.

Di Jawa Tengah, wilayah eks Karesidenan Banyumas, di antaranya
Cilacap, Banjarnegara, dan Banyumas, menjadi daerah pemasok terbesar tenaga kerja Indonesia (TKI). Dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI terlihat bahwa pada periode 2013-2015, Cilacap memberangkatkan 44.358 TKI, Banjarnegara (4.182 TKI), dan 16.004
TKI dari Banyumas.

Budaya mengobeng

Upah membatik memang tak bisa
disetarakan dengan pendapatan
sebagai buruh migran. Gaji bersih
buruh migran di Hongkong bisa
mencapai Rp 6 juta per bulan.
Bandingkan dengan hasil penjualan
batik yang rata-rata Rp 400.000-Rp
500.000 per bulan per orang di KUB Pringmas. Hasil menjual batik di galeri batik Pringmas ini sedikit lebih besar dibandingkan jika mereka menjadi pengobeng atau buruh batik dengan pendapatan Rp 200.000- Rp 300.000 per bulan.

Sebagai pengobeng dengan seluruh
bahan baku dari juragan, Ruminah dan sekitar 300 pembatik di Desa Papringan mampu menyelesaikan 10 lembar batik per pekan. Hasil kerja keras mereka dihargai Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per lembar batik kasar. Batik halus dihargai Rp 40.000- Rp 50.000 yang setiap lembarnya bisa diselesaikan dalam 2-3 hari.

”Membatik masih tetap sambilan.
Kadang nandur (menanam) padi, panen jagung. Kalau sudah enggak ada pekerjaan di ladang, baru membatik,” ujar Ruminah.

Dengan kehadiran KUB Pringmas sejak 2013, pembatik seperti Ruminah bisa langsung menjual batik kepada konsumen. Iin Susiningsih, yang menjadi pembatik generasi kelima di keluarga suaminya, bahkan sudah mulai berkreasi membuat motif baru
sendiri. Sempat merantau selama
sepuluh tahun sebagai pengasuh anak di Jakarta lalu menjadi pengobeng di beberapa juragan, Iin kini menjadi Wakil Ketua KUB Pringmas.

Selain dijual di galeri, batik-batik karya pembatik di KUB Pringmas juga dipromosikan lewat media sosial dan dibawa merantau para buruh migran ke luar negeri. Lewat tangan mereka pula, mereka berusaha memperluas pasar batik Banyumas. ”Ada yang dibawa ke
Hongkong, lalu dijual dan dipamerkan di sana,” kata Sri, Sekretaris KUB Pringmas.

Jika pembatik di Papringan berusaha
mandiri lepas dari tradisi mengobeng, beberapa pembatik lain, seperti Nadem (43), setia bekerja sebagai pengobeng selepas pulang merantau. Dengan penghasilan Rp 37.500 per hari, Nadem membatik di Perusahaan Batik milik Hadiprijanto di Banyumas. ”Saya membatik dari SD. Di desa saya, tinggal saya satu-satunya yang membatik. Pada malas meski semua bisa membatik,” kata Nadem yang pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Selangor, Malaysia, pada 2004-2006.

Hasil bekerja sebagai buruh migran itu antara lain digunakan untuk
menyekolahkan putrinya yang kini baru saja lulus SMA. ”Anak saya enggak mau belajar membatik. Pengin berangkat kerja jadi TKI, tetapi belum boleh sama bapaknya,” ujar Nadem.

Dosen Pendidikan Sejarah di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Tanto Sukardi, dalam buku Tanam Paksa di Banyumas menyebut wilayah Karesidenan Banyumas dengan lahan pertanian yang subur, bukan hanya berfungsi sebagai basis ekonomi, melainkan juga menjadi basis tenaga kerja.

Sejak masa kerajaan, penduduk pedesaan Banyumas sudah mengenal berbagai bentuk kerja wajib. Bahkan, Banyumas menjadi salah satu daerah yang dieksploitasi secara politik, sosial, dan ekonomi oleh pihak kolonial dengan penerapan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa (1830-1870).

...

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Jenderal Soedirman,
Margani Pinasti, yang mulai meneliti
batik Banyumas sejak 2012 dan turut
merintis lahirnya Paguyuban Batik
Jamur Dwipa, menyebut batik
Banyumas masih kalah pamor
dibandingkan batik dari daerah lain
karena ketiadaan pabrik tekstil dan
kemampuan manajerial pembatik masih lemah dari sisi pemasaran.

”Masalah ini tidak bisa selesai
ditangani sendiri. Harus kolaborasi.
Kolaborasi antarkompetitor. Harus ada road map jelas untuk menggiatkan batik,” ujarnya.

Di kantong buruh migran dengan
berbagai kisah kelam dan manisnya
hidup, batik dicintai, tetapi belum
sanggup menghidupi. Batik masih
menjadi sambilan, pelarian ketika
panggilan merantau sayup-sayup
menjauh....

Sumber:
http://batik.print.kompas.com/banyumas-cilacap-banjarnegara/keindahan-di-kantong-buruh-migran

Jumat, 22 Juli 2016

Batik Motif Simbar Menjangan

Motif Simbaran/Simbar Menjangan terinspirasi dari tumbuhan epifit yg kerap dijumpai di pohon-pohon kelapa, batu-batu atau tebing. Tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan berakar serabut yg hidup melekat pd kayu tertentu, batu dan sebagainya. Berdaun memanjang dan agak bergelombang pada tepinya.

Sesuai dengan ciri khas motif Batik Papringan yang mendapatkan ide dari lingkungan sekitar, maka visualisasi tanaman Simbar Menjangan ini dituangkan dalam batik. Dipadu dengan ikon Lar/sayap, menjadikan motif ini tampak klasik.

Batik motif Godhong Pethetan

Para pembatik Desa Papringan tak pernah habis akan ide motif batik karena mereka melihat segala sesuatu di sekitar mereka sebagai objek yang bisa diterapkan dalam batik. Tidak terkecuali tumbuh-tumbuhan yang ada di halaman rumah atau pekarangan.

Motif Godongan menggambarkan dedaunan atau tanaman hias Puring, atau dalam bahasa Banyumasan disebut "pethetan", berdaun panjang-panjang yang pada masyarakat pedesaan biasanya dijadikan tanaman pagar. Tumbuhan ini mempunyai daun yang warna-warni dalam satu helai daunnya. Biasanya digunakan pula dalam racikan bunga tabur maupun rangkaian bunga pada upacara kematian, juga untuk rangkaian bunga "kembar mayang" pada upacara adat perkawinan.